Kamis, 10 November 2011

PERILAKU KONSUMEN

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini menyajikan hasil-hasil temuan empiris sebagai data dasar analisis sesuai dengan tujuan penelitian yang telah ditetapkan. Sebelum hasil-hasil analisis tersebut disajikan, maka terlebih dahulu digambarkan secara rinci karakteristik responden penelitian yang sekaligus mencerminkan profil konsumen McDonald’s di Bali saat penelitian dilakukan. Profil konsumen dimaksud digambarkan dari sisi demografis dan psikografis yang diukur dari beberapa indikator penelitian.
4.1.            Karakteristik Konsumen
4.1.1.      Karakteristik Demografi Konsumen
Karakteristik demografi konsumen McDonald’s digambarkan dari indikator-indikator : usia, jenis kelamin, pekerjaan, pendapatan, tempat tinggal, pendidikan, agama dan suku. Uraian secara rinci masing-masing karakteristik tersebut adalah sebagai berikut:
4.1.1.1  Tingkat Usia Konsumen
Konsumen McDonald’s berdasarkan usianya dikelompokkan ke dalam tiga klas dan batas usia minimal yang dijadikan sasaran penelitian adalah 17 tahun. Karena, menurut konsep perilaku, pada usia ini seseorang dinilai mulai dewasa dan dianggap mampu mengambil keputusan pembelian. Usia yang dimaksudkan di sini adalah jumlah umur responden pada saat penelitian. Jadi, pengelompokkan tersebut adalah : konsumen dengan usia 17 s/d 24 tahun sebagai klas pertama, konsumen dengan tingkat usia 25 s/d 32 tahun sebagai klas ke dua dan konsumen dengan tingkat usia 33 tahun atau lebih sebagai klas ke tiga.
Hasil temuan lapangan menunjukkan bahwa konsumen McDonald’s  kebanyakan (51,10%) berusia 17 s/d 24 tahun. Artinya bahwa, kelompok usia tersebut menunjukkan seseorang sedang menuju pada tingkat kedewasaan (maturity) atau dalam tahapan yang belum cukup stabil dalam pengambilan keputusan. Kemudian disusul oleh konsumen dengan usia 25 s/d 32 tahun sebanyak 37,10% dan konsumen dengan tingkat usia 33 tahun atau lebih sebanyak 7,80%. Uraian  lebih ringkas tentang kelompok konsumen McDonald’s tersebut disajikan dalam Tabel 4.1 berikut ini.
Tabel  4.1        Konsumen McDonald’s di Bali Menurut Usia, Tahun 2003
No.
Usia Konsumen
(Tahun)
Jumlah
(Orang)
Persentase
(%)
1
17 – 24
113
55,10
2
25 – 32
76
37,10
3
≥ 32
16
7,80
Total
205
100,00
Sumber : Hasil Penelitian diolah, 2003
4.1.1.2.Jenis Kelamin Konsumen
Konsumen McDonald’s berdasarkan jenis kelaminnya dikelompokkan ke dalam dua klas yaitu laki-laki dan perempuan. Hasil temuan lapangan menunjukkan bahwa jumlah konsumen McDonald’s antara laki-laki dan perempuan hampir berimbang. Ditemukan bahwa konsumen McDonald’s dengan jenis kelamin perempuan adalah sebanyak 50,2% sedangkan konsumen laki-laki sebanyak 49,8%. Uraian  lebih ringkas tentang kelompok konsumen McDonald’s di Bali dilihat dari jenis kelaminnya disajikan dalam Tabel 4.2 berikut ini.
Tabel  4.2        Konsumen McDonald’s di Bali Menurut Jenis Kelamin, Tahun 2003
No.
Jenis Kelamin
Jumlah
(Orang)
Persentase
(%)
1
Laki – laki
102
49.8
2
Perempuan
103
50.2
Total
205
100
Sumber : Hasil Penelitian diolah, 2003
4.1.1.3.Jenis Pekerjaan Konsumen
Kelompok konsumen dikaitkan dengan pekerjaan atau aktifitasnya sehari-hari, dibagi ke dalam 6 jenis, yaitu : pelajar/mahasiswa, karyawan, PNS (termasuk TNI, Polri dan pensiunan), ibu rumah tangga, wiraswasta dan lainnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumen McDonald’s kebanyakan (47,80%) adalah karyawan swasta, kemudian disusul oleh kelompok pegawai negeri sebanyak 15,60%, Wiraswasta sebanyak 12,20%. Kemudian sisanya berturut-turut sebagai ibu rumah tangga (10,20%), pelajar/mahasiswa (7,80%) dan lainnya (6,30%). Secara ringkas diskripsi konsumen McDonald’s dari sisi pekerjan/kegiatannya sehari-hari seperti tersaji berikut ini :
Tabel  4.3         Konsumen McDonald’s di Bali Berdasarkan Jenis Pekerjaan/Aktivitasnya, Tahun 2003
No
Pekerjaan
Jumlah
(Orang)
Persentase
(%)
1
Pelajar/Mahasiswa
16
7,80
2
Karyawan Swasta
98
47,80
3
Pegawai negeri
32
15,60
4
Ibu Rumah Tangga
21
10,20
5
Wiraswasta
25
12,20
6
Lain-lain
13
6,30

Total
205
100,00
Sumber : Hasil Penelitian diolah, 2003
4.1.1.4.Tingkat Penghasilan konsumen
Penghasilan konsumen yang dimaksudkan di sini adalah besarnya penghasilan utama rata-rata setiap bulan, yang diperoleh dari pekerjaannya atau orang tua/orang lain (bagi pelajar/mahasiswa), yang digunakan untuk membiayai keluarga dan dirinya. Penghasilan dalam penelitian ini dibagi ke dalam empat kelas, dengan panjang kelas interval sebesar Rp. 500 ribu.
Hasil penelitian menemukan bahwa golongan konsumen dengan penghasilan Rp. 500.000-Rp. 999.999 menduduki posisi terbanyak yaitu sebesar 62,40%. Diikuti oleh golongan konsumen yang berpenghasilan diatas Rp. 2.000.000 sebanyak 18,50%. Selanjutnya, disusul oleh konsumen dengan penghasilan  Rp.1.000.000–Rp. 1.499.999 dan Rp. 1.500.000–1.999.999, masing-masing sebesar 16,10% dan 2,90%. Keterangan lebih lanjut disajikan seperti pada tabel 4.4 berikut :
Tabel  4.4  Kelompok Konsumen McDonald’s Berdasarkan Penghasilan
No.
Penghasilan Konsumen
(Rupiah)
Jumlah
(Orang)
Persentase
(%)
1
500.000 – 999.000
128
62,4
2
1.000.000 – 1.499.999
33
16,1
3
1.500.000 – 1.999.999
6
2,9
4
≥ 2.000.000
38
18,5
Total

205
100
Sumber : Hasil Penelitian diolah
4.1.1.5.Tempat Tinggal Konsumen
Tempat tinggal yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah alamat di kabupaten mana konsumen menetap saat ini. Kabupaten tempat tinggal konsumen dikelompokkan ke dalam tiga kelas yaitu Badung, Denpasar dan Lainnya. Hasil penelitian menggambarkan bahwa konsumen McDonald’s di Bali sebagian besar (45,90%) adalah masyarakat Badung, kemudian masyarakat Kota Denpasar sebesar 40,50%. Sedangkan sisanya yaitu 13,70% adalah masyarakat luar Badung dan Denpasar. Gambaran secara rinci demografis konsumen tersebut dari sisi kabupaten tempat tingalnya, seperti berikut :
Tabel  4.5         Konsumen McDonald’s Di Bali Berdasarkan Kabupaten Tempat Tinggal, Tahun 2003
No.
Tempat Tinggal
Jumlah
(Orang)
Persentase
(%)
1
Badung
94
45,90
2
Denpasar
83
40,50
3
Lainnya
28
13,70
Total
205
100,00
Sumber : Hasil Penelitian diolah, 2003
4.1.1.6.Tingkat Pendidikan Konsumen
Pendidikan yang dimaksudkan di sini adalah pendidikan terakhir yang ditamatkan konsumen saat penelitian dilakukan. Konsumen McDonald’s dari sisi pendidikannya dibagi ke dalam empat kelompok, yaitu : tamatan SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi. Hasil penelitian lapangan menemukan bahwa konsumen McDonald’s kebanyakan berpendidikan SMA yaitu sebesar 44,90%. Kemudian  berpendidikan sarjana (lulusan perguruan tinggi) sebanyak 42.90%, dan konsumen yang berpendidikan SMP dan SD masing-masing sebanyak 4,90% dan 7,30%. Komposisi konsumen dilihat dari tingkat pendidikannya, secara ringkas seperti disajikan pada Tabel 4.6 berikut :
Tabel  4.6         Konsumen McDonald’s di Bali Berdasarkan Tingkat  Pendidikan, Tahun 2003
No
Tingkat
Pendidikan
Jumlah
(Orang)
Persentase
(%)
1
SD
15
7,30
2
SMP
10
4,90
3
SMA
92
44,90
4
PT
88
42,90
Total
205
100,00
Sumber : Hasil Penelitian diolah, 2003
4.1.1.7.Agama
Konsumen McDonald’s dari sisi Agama yang dianutnya dibagi ke dalam lima kelompok, yaitu : Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Hasil penelitian menemukan bahwa konsumen McDonald’s kebanyakan (41,00%) beragama Hindu, hal ini sesuai dengan komposisi Agama penduduk Bali. Kemudian  konsumen dengan yang beragama Kristen sebanyak 17.60%, konsumen yang beragama Islam dan Katolik masing-masing sebanyak 16,60% dan 7,30% dan sisanya 8,30% konsumen dengan Agama Budha. Komposisi konsumen dilihat sisi Agama yang dianut, secara ringkas seperti disajikan pada Tabel 4.7 berikut :
Tabel  4.7        Konsumen McDonald’s Di Bali Menurut Agama, Tahun 2003
No
Agama
Jumlah (Orang)
Persentase (%)
1
Islam
34
16,60
2
Kristen
36
17,60
3
Katolik
34
16,60
4
Hindu
84
41,00
5
Budha
17
8,30
Total
205
100,00
Sumber : Hasil Penelitian diolah, 2003
4.1.1.8.Suku
Suku yang dimaksudkan di sini adalah daerah asal atau keturunan konsumen. Konsumen McDonald’s dari sisi sukunya dibagi ke dalam tiga kelompok, yaitu : suku Bali, Jawa dan lainnya. Hasil penelitian menemukan bahwa konsumen McDonald’s kebanyakan suku Bali yaitu sebanyak 68,30%. Kemudian  suku Jawa sebanyak 26.80%, dan konsumen dengan suku lainnya hanya sebesar 4,90%. Komposisi konsumen dilihat dari suku, secara ringkas seperti disajikan pada Tabel 4.8 berikut :
Tabel  4.8         Konsumen McDonald’s Di Bali Berdasarkan Suku, Tahun 2003
No
Suku
Jumlah
(Orang)
Prosentase
(%)
1
Bali
140
68,30
2
Jawa
55
26,80
5
Lainnya
10
4,90
Total
205
100,00
Sumber : Hasil penelitian diolah, 2003
4.1.2.      Karakteristik Psikografi Konsumen
Psikografis dipergunakan untuk mengukur gaya hidup konsumen dengan menganalisis aktivitas (activities) minat (interests) dan opini (opinions) yang lazim disingkat dengan AIO.  Psikografis mencakup beberapa pertanyaan (variabel) yang dirancang untuk menilai gaya hidup dan karakteristik keperibadian target pasar. Berdasarkan atas hasil perhitungan pada lampiran 5, berikut ini diuraikan karakteristik responden McDonald’s di Bali ditinjau dari psikografisnya, adalah sebagai berikut :
4.1.2.1.Aktifitas (Activities)
Gaya hidup konsumen dilihat dari aktifitasnya selama berbelanja di McDonald’s, diukur dari tujuh pertanyaan (variabel). Hasil penelitian menggambarkan bahwa dari 205 responden yang diteliti untuk masing-masing indikator dapat dijelaskan sebagai berikut :
a.                   Aktivitas selain makan
Konsumen McDonald’s selama ini sebagian besar (84,90%) hampir tidak pernah melakukan kegiatan lain selain makan di McDonald’s. Dari jumlah tersebut, sebanyak 52% menyatakan bahwa kunjungannya ke McDonald’s hanya untuk makan saja tanpa disertai dengan tujuan lain. Sedangkan sebanyak 48% menyatakan kadang-kadang atau jarang sekali makan di McDonald’s sambil melakukan kegiatan lain.
Di sisi lain, sebesar 15,10% sisanya menyatakan sering kali setiap makan di McDonald’s dibarengi dengan aktifitas lain selain makan, seperti : rapat kantor, arisan, ulang tahun, dsb. Bahkan tidak ada konsumen yang berbelanja ke McDonald’s yang menyatakan selalu disertai dengan kegiatan lain.
b.                  Produk yang dibeli
1).                Makanan
Kebanyakan (74,60%) dari konsumen menyatakan ke McDonald’s adalah untuk membeli nasi dengan kelengkapannya, sedangkan 25,40% menyatakan tidak/hampir tidak pernah membeli nasi. Konsumen yang membeli nasi, terdiri dari 76% menyatakan sering kali membeli makanan berupa nasi jika berbelanja di McDonald’s dan sebanyak 24% menyatakan selalu membeli nasi beserta kelengkapannya.
Kemudian dari jumlah 25,4% sisanya, maka sebanyak 80%  menyatakan kadang-kadang atau jarang sekali membeli nasi kalau berbelanja ke McDonald’s, dan 20% lagi menyatakan tidak pernah membeli makanan yang berupa nasi beserta kelangkapannya.
2).                Camilan
McDonald’s selain menyediakan makanan yang berupa nasi juga menyediakan jenis makanan lain (camilan) yang berupa roti atau sejenisnya. Kemudian sebanyak 86,30% konsumen ke McDonald’s bukan semata-mata membeli roti atau sejenisnya. Dari jumlah tersebut 59% jika ke McDonald’s jarang sekali membeli roti atau sejenisnya dan sebanyak 41% menyatakan tidak pernah membeli roti. Sedangkan, konsumen yang membeli roti atau sejenisnya jika ke McD adalah sebanyak 13,70% dan semuanya dengan kategori sering. Bahkan tidak ada konsumen McD yang menyatakan bahwa yang selalu dibeli adalah roti.
3).                Minuman
Selain makanan (nasi) dan camilan (roti), McDonald’s juga menyediakan berbagai jenis juice dan minuman ringan (soft drinks). Dari sejumlah konsumen yang dijadikan responden, ditemukan sebanyak 80,50% konsumen ke McD tidak selalu membeli minuman saja. Dari jumlah tersebut 79% menyatakan jarang sekali ke McDonald’s hanya membeli minuman saja, bahkan 21% menyatakan tidak pernah hanya membeli minuman saja.
Kemudian sebanyak 19,50% konsumen menyatakan ke McD hanya membeli minuman saja, dengan rincian sebanyak 63% sering kali kalau ke McDonald’s hanya membeli minuman saja dan sebanyak 37%  menyatakan selalu ke McD hanya membeli minuman saja.
c.                   Intensitas kunjungan konsumen
1).                Frekuensi kunjungan rata-rata per bulan
Repeat buying secara konsep perilaku pembelian sering kali dipergunakan sebagai salah satu dasar untuk mengukur kepuasan konsumen. Artinya bahwa semakin sering konsumen melakukan pembelian kembali, mengindikasikan tingkat kepuasan konsumen yang lebih baik dari yang jarang melakukan pembelian kembali. Sehubungan dengan penelitian ini, batasan kunjungan yang dipergunakan adalah 2 kali dengan dasar pertimbangan harga.
Hasil temuan lapangan menunjukkan bahwa 56,60% konsumen kadang-kadang atau tidak pernah melakukan kunjungan ke McDonald’s melebihi dua kali dalam se bulan. Di antara konsumen tersebut, sebanyak 95% jarang sekali ke McDonald’s lebih dari dua kali dalam sebulan. Bahkan hanya 5% lagi menyatakan tidak pernah sampai lebih dari dua kali dalam sebulan ke McDonald’s.
Suatu angka yang cukup besar dimana sebanyak 43,40% konsumen yang berbelanja di McDonald’s, frekuensi kunjungannya lebih dari dua kali dalam sebulan. Mereka yang disebutkan terakhir ini 78% menyatakan sering kali ke McD lebih dari dua kali sebulan. Kemudian 22% lagi menyatakan selalu berbelanja McD lebih dari dua kali dalam se bulan.
2).                Nilai pembelian setiap kunjungan
Sistim pembelian fast food seperti McDonald’s adalah pra bayar, artinya konsumen yang mau makan atau minum harus membayar terlebih dahulu sebelum mengkonsumsinya. Sistem dan cara tersebut mengharuskan konsumen membayar dengan sejumlah uang untuk jumlah atau nilai barang yang dibelinya.
Pada penelitian ini batasan pembelian yang dipergunakan adalah senilai Rp. 20.000, dengan dasar pertimbangan rata-rata harga makanan di McDonald’s. Temuan empiris menunjukkan bahwa 86,80% konsumen yang berbelanja di McDonald’s, rata-rata nilai pembeiannya melebihi Rp. 20.000 per kunjungan. Di antara mereka 51% yang menyatakan sering kali menghabiskan uang lebih dari Rp. 20.000. Kemudian sebanyak 49% lagi menyatakan selalu menghabiskan uang melebihi Rp. 20.000 untuk setiap kali kunjungan.
Konsumen yang biasanya menghabiskan uang rata-rata tidak melebihi Rp. 20.000 per kunjungan adalah sebanyak 13,20%. Di antara mereka sebanyak 45%  yang menyatakan tidak pernah melebihi Rp. 20.000. Kemudian sisanya yaitu 55%  jarang sekali menghabiskan uang lebih dari Rp. 20.000 per kunjungan.
3).                Lamanya di McDonald’s per kunjungan
Konsumen terkadang ke McD tidak hanya sekedar makan, tetapi juga nyantai sambil beristirahat menghilangkan kepenatan. Sehingga untuk itu dibutuhkan waktu yang lebih banyak dibandingkan dengan hanya untuk makan. Batas waktu maksimal seseorang di McD yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah 1 s/d  2 jam, disesuaikan dengan waktu istirahat siang seorang karyawan.
Temuan lapangan menggambarkan bahwa semua konsumen yang dijadikan responden pernah menghabiskan waktu 1 s/d 2 jam di McD. Dari jumlah tersebut sebanyak 58,5% jarang sekali di McD selama 1 s/d 2 jam dan 41,50% menyatakan sering kali dan selalu di McD selama 1 s/d 2 jam.
4.1.2.2.Minat (Interests)
a.                   Ajakan keluarga
Sebagian orang ada yang memutuskan pembelian disebabkan karena ajakan keluarga atau minatnya tumbuh karena faktor keluarga. Temuan lapangan kebanyakan (64,90%) menyatakan karena minat sendiri atau tidak pernah / kadang-kadang saja karena ajakan pihak keluarga. Dari jumlah tersebut 42% karena minat sendiri atau tidak karena ajakan keluarga. Kemudian 58% berminat kadang-kadang atau jarang sekali karena ajakan keluarga.
Di sisi lain, sebanyak 35,10% berminat karena ajakan pihak keluarga dan sebagian dari mereka yaitu 75% menyatakan sering ke McD karena ajakan keluarga. Sedangkan sisanya 25% lagi menyatakan setiap ke McD selalu karena ajakan keluarga.
b.                  Ajakan teman / organisasi
Pengaruh teman baik secara individu maupun kelompok masih cukup berperan dalam pengambilan keputusan seseorang. Demikian halnya konsumen McD di Bali, dimana sebagian besar (75,60%) keputusan pembeliannya karena ajakan teman/organisasi. Dari jumlah tersebut sebanyak 87% membeli McD karena sering diajak teman dan hanya 13% karena selalu diajak teman.
Sebagian konsumen (24,40%) membeli McD semata-mata bukan karena ajakan teman dan 68% dari mereka jarang sekali ke McD karena ajakan teman. Bahkan sebanyak 32% memang benar-benar karena minat sendiri atau bukan ajakan teman.
c.                   McDonald’s pilihan terakhir
Restoran fast food seperti McDonald’s kerap kali merupakan salah satu pilihan tempat makan seseorang. Data empiris menunjukkan bahwa sebanyak 81,90% konsumen memilih McD sebagai tempat makan karena merupakan tujuan utama dan bukan karena pilihan terakhir. Sebagian dari mereka yaitu 29% memang betul-betul memiliki tujuan makan di McD. Kemudian sebagian lagi yaitu 71% jarang memilih restoran lain selain McD atau dapat dikatakan bahwa jarang mengganggap McD sebagai pilihan terakhir.
Kendati demikian masih ada sebesar 18% yang mengatakan makan di McD kalau tidak ada pilihan lain. Sebanyak 38% berstatus sering dan 62% berstatus selalu menganggap McD adalah pilihan terakhir.
4.1.2.3.Opini Konsumen (Constumer Opinions)
a.                   Peristiwa dunia
Kenyataannya, masih sebagian besar (66,80%) konsumen McD di Bali tidak terpengaruh oleh situasi lingkungan dunia internasional, baik situasi politik, ekonomi maupun hukum, dsb. Bahkan 72% dari mereka menyatakan sama sekali tidak terpengaruh dan hanya 28% kadang-kadang saja terpengaruh.
Di sisi lain, sebanyak 33,20% konsumen McD di Bali masih terpengaruh oleh situasi dunia internasional, dengan 63% berstatus sering terpengaruh dan 37% lagi selalu terpengaruh situasi dunia.
b.                  Peristiwa lokal
Situasi lingkungan lokal yang dimaksudkan di sini adalah berbagai peristiwa seperti : masalah ekonomi, politk, keamanan, hukum, sosial, dsb yang terjadi di Indonesia dan khususnya Bali. Sama halnya dengan situasi internasional, masalah ini tidak terlalu dipusingkan oleh konsumen McD di Bali.
Data menunjukkan bahwa 82% konsumen tidak terpengaruh oleh peristiwa-peristiwa lokal dan 93% di antaranya sama sekali tidak pernah terpengaruh dan selebihnya jarang terpengaruh. Mereka yang menyatakan terpengaruh situasi lokal ini hanya sekitar 18%, di mana 47% di antaranya sering terpengaruh dan 53% menyatakan selalu ditentukan situasi lokal.
c.                   Krisis ekonomi
Krisis adalah sebuah kejadian yang umumnya paling ditakuti setiap orang karena akan mempengaruhi pola konsumsinya dalam arti luas. Namun, tidak demikian halnya dengan konsumen McD di Bali di mana 68,3% menyatakan tidak masalah. Dari jumlah tersebut sebanyak 68% tidak pernah terpengaruh situasi krisis jika ke McD dan sisanya 32% lagi jarang sekali terpengaruh.
Tidak bisa dipunjgkiri memang masih ada sebanyak 31,70% yang meyatakan keputusannya ke McD dipengaruhi krisis ekonomi. Dari jumlah tersebut 66% sering kali tergantung situasi tidak krisis dan sisanya 10,70% selalu menunda ke McD kalau krisis.
d.                  Nilai moral
Isu moral adalah sebuah kata abstrak yang pada kenyataannya sangat sulit diterapkan pada kehidupan sehari-hari. Moral biasanya lebih banyak dikaitkan dengan norma Agama dalam perilaku. Hampir semua konsumen McD di Bali mengabaikan masalah moral ini.
Hasil penelitian menemukan bahwa 60% tidak memikirkan moralitas makan di McD, sebanyak 23,90% menyatakan jarang sekali memikirkannya dan 16,10% mengatakan sering memikirkan. Bahkan tidak ada yang menyatakan selalu berfikir moral jika makan di McD.
e.                   Nilai sosial
Isu sosial seperti : kesehatan, kemiskinan, pengangguran dan sebagainya sedikit tidak akan ikut menentukan pola konsumsi seseorang. Kenyataannya, agak beda dengan konsumen McD di Bali, di mana 68,80% tidak pernah terpengaruh dan sebanyak 16,60% menyatakan jarang sekali mempengaruhi. Ada sebanyak 14,60% konsumen yang sering terpengaruh isu sosial ini dan tidak ada yang menyatakan selalu terpengaruh.
4.1.3        Karakteristik kepribadian/internal konsumen
Sikap puas ataupun kecewa merupakan bagian dari karakter setiap seorang. Kepuasan terhadap suatu pelayanan ataupun produk yang dikonsumsikan ditentukan oleh kesesuaian antara kinerja berbagai atribut yang ditawarkan dengan harapan konsumen. Berikut ini, diuraikan karakteristik internal konsumen McDonald’s di Bali yang mencerminkan kepribadian ataupun sikapnya terhadap berbagai atribut. Sikap mana cendrung akan mempengaruhi perilaku konsumen untuk memutuskan makan di McD.
a)                  Pola perilaku
Keputusan yang labil yaitu keputusan yang dapat berubah seketika yang terkadang dapat terjadi pada seseorang dan hal tersebut mencerminkan pola perilaku yang tidak konsisten. Pada penelitian ini, ditemukan bahwa pola perilaku konsumen McD di Bali, cenderung konsisten dengan keputusannya. Data lapangan menunjukkan bahwa 12,70% responden menyatakan tidak pernah merubah keputusannya seketika untuk ke McD dan 57,10% menyatakan jarang sekali berubah pikiran terhadap keputusannya. Tatapi masih ada sebanyak 9,80% yang sering berubah pikiran seketika terhadap keputusannya makan di McD dan yang menggembirakan adalah tidak ada yang selalu berubah pikiran seketika.
b)                  Keterlibatan dalam berbagai aktivitas
Banyak alasan yang biasanya terungkap jika seseorang mengikuti kegiatan sosial di luar pekerjaan utamanya. Intensitas kegiatan sosial di luar kegiatan utama akan menambah kesibukan seseorang. Implikasinya adalah semakin sempit kesempatan seseorang untuk istirahat di rumah termasuk untuk makan dengan keluarga. Konsumen McD di Bali, umumnya (58%) tidak begitu senang melakukan kegiatan sosial di luar kegiatan utamanya dan hanya 11% sama sekali tidak pernah melakukan kegiatan sosial selain kegiatan utamanya. Sedangkan 89% menyatakan pernah tetapi jarang melakukan kegiatan sosial.
Sebagian konsumen (42%) memiliki kebiasaan dan senang melakukan kegiatan sosial di luar kegiatan utamanya. Dari jumlah tersebut sebanyak 80%  sering senang dengan kegiatan sosial. Sisanya sebanyak 20% bahkan lebih intensif karena selalu senang dengan berbagai kegiatan sosial di luar kegiatan utama.
c)                  Pelayanan McD lambat
McD adalah salah satu jenis restorang fast food, artinya menerapkan sistem pelayanan yang cepat saji dengan sasaran, konsumen yang memiliki sifat dan sikap tertentu. Unsur kecepatan penyajian dalam pelayanan menjadi cirikhas jenis restoran seperti ini dan hal ini merupakan salah satu model yang dibutuhkan beberapa konsumen.
Konsumen McD di Bali, sesuai dengan temuan lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar (50,20%) menyatakan tidak akan kecewa apabila pelayanan yang diterima lambat. Dari jumlah tersebut 64% merasa tidak pernah kecewa kalau pelayanan yang diterima lambat dan sisanya 36% menyatakan kadang-kadang kecewa.
Sebagian lagi yaitu sebanyak 47,80% nampaknya karakter konsumen yang  betul-betul merupakan sasaran McD, karena mereka menyatakan akan kecewa kalau pelayanan yang diterima lambat. Dari jumlah tersebut 65% sering kecewa dan sisanya (35%) bahkan selalu kecewa kalau mendapatkan pelayanan yang lambat.
d)                 Pelayan tidak ramah
Pelayanan yang ramah umumnya menjadi modal dasar kesuksesan sebuah restoran termasuk McD. Kenyataan di lapangan menggambarkan bahwa hanya 34,60% konsumen McD di Bali tidak akan kecewa, sedangkan sebagian besar (65,40%) akan kecewa kalau mendapatkan pelayanan yang tidak ramah. Dari jumlah yang kecewa tersebut 36% menyatakan sering kecewa dan 66% menyatakan selalu kecewa, apabila dilayani tidak dengan ramah.
e)                  Kebersihan makanan
McD adalah jenis restoran kelas internasional dan segmen pasar yang dituju adalah masyarakat dari kelas tertentu. Sehingga faktor kebersihan makanan yang disajikan tidak akan luput dari perhatian manajemen dan konsumen karena menyangkut masalah kesehatan. Hasil penelitian di Bali menunjukkan bahwa 60% konsumen menyatakan tidak meragukan kebersihan makanan di McD sehingga jarang dan tidak pernah kecewa. Sedangkan 40% lagi menyatakan khawatir sehingga sering kecewa dengan kebersihan makanan di McD.
Apabila ditelusuri lebih jauh, maka dari 60% tersebut, sebanyak 60%  menyatakan tidak pernah kecewa dengan kebersihan makanan yang disajikan di McD, dan 40% lagi menyatakan jarang sekali kecewa dengan kebersihannya. Kemudian dari 40% konsumen, sebanyak 15% menyatakan sering kecewa dengan kebersihan makanan di McD, sedangkan 85% menyatakan selalu kecewa.
f)                   Rasa makanan
Diakui bahwa masalah rasa makan sangat relatif di benak konsumen, namun bagi McD setidaknya diusahakan menciptakan rasa yang memenuhi selera umum. Dari 205 responden McD di Bali, sebanyak 35,10% yang menyatakan tidak dan jarang kecewa dengan rasa makan McD dan 65% lagi menyatakan kecewa.
Dari 35,10% tersebut, 42% menyatakan tidak pernah kecewa dan 58%  menyatakan jarang kecewa dengan rasa makanan McD di Bali. Kemudian dari 65% yang kecewa, sebanyak 35% menyatakan sering kecewa dan 65% lagi justru selalu kecewa.
g)                  Harga makanan
Harga yang mahal terkadang dijadikan ukuran tingginya kualitas barang yang dibeli konsumen. Konsumen McD di Bali 60% menyatakan bahwa harga makanan mahal tidak membuatnya kecewa, sedangkan 40% sisanya menyatakan kecewa. Dari jumlah yang tidak memasalahkan harga mahal, hanya 28% yang mengatakan sama sekali tidak masalah dan 72% lagi jarang sekali mempermasalahkan.
Di sisi lain, dari 40% yang kecewa dengan harga mahal, sebanyak 70%  mengatakan sering kecewa dengan harga makanan McD yang mahal, sedangkan 30% selalu kecewa dengan harga makanan yang mahal.
h)                  Variasi menu
Ketidak lengkapan menu yang ditawarkan McD di Bali, dikatakan tidak mengecewakan oleh 56% konsumen, sedangkan 44% menyatakan kecewa. Lebih lanjut ditemukan bahwa dari 56% tersebut, sebanyak 44% tidak pernah kecewa dan 56% jarang kecewa dan dari 44% yang kecewa, sebanyak 34% sering kecewa dan 66% selalu kecewa.
i)                    Kenyamanan ruang makan
Ruang makan yang tidak nyaman kerap kali mempengaruhi selera makan seseorang dan mengecewakan. Konsumen McD di Bali sebagian besar (63%) menyatakan tidak masalah sedangkan 37% menyatakan kecewa. Kemudian dari 63% tersebut, sebanyak 59% tidak pernah kecewa sedangkan 41% lagi jarang kecewa. Lain halnya dengan 37% yang kecewa, ternyata sebanyak 41% sering kecewa dan 59% bahkan selalu kecewa jika ruang makan tidak nyaman.
j)                    Jarak restoran
Jarak restoran yang cukup jauh juga dapat membuat kecewa konsumen dan berakibat membatalkan niatnya untuk datang. Konsumen McD di Bali sebagian besar (76%) menyatakan tidak masalah sedangkan 24% menyatakan kecewa. Kemudian dari 76% tersebut, sebanyak 43% tidak pernah kecewa sedangkan 57% lagi jarang kecewa. Demikian halnya dengan 24% yang kecewa, ternyata sebanyak 35% sering kecewa dan 65%  bahkan selalu kecewa jika jarak restoran jauh dari rumah.
k)                  Lokasi McD
Konsumen McD di Bali sebagian besar (67%) menyatakan tidak kecewa oleh lokasi McD yang kurang strategis, sedangkan 33% lagi menyatakan kecewa. Kemudian dari 67% tersebut, sebanyak 68% tidak pernah kecewa sedangkan 32%  lagi jarang kecewa. Kemudian dari 33% yang kecewa, sebanyak 34% sering kecewa dan 66% selalu kecewa jika lokasi restoran tidak strategis.
l)                    Sarana parkir McD
Sarana parkir yang kurang memadai, bagi konsumen McD di Bali sebagian besar (57%) menyatakan tidak masalah sedangkan 43% menyatakan kecewa. Kemudian dari 57% tersebut, sebanyak 39% tidak pernah kecewa sedangkan 61% lagi jarang kecewa. Berbeda dengan 37% yang kecewa, ternyata sebanyak 34% sering kecewa dan 66% bahkan selalu kecewa.
m)                Keamanan parkir
Masalah keamanan parkir yang kurang terjamin di McD, sebagian kecil (48%) menyatakan tidak kecewa, sedangkan 52% menyatakan kecewa. Kemudian dari 48% tersebut, sebanyak 40% tidak pernah kecewa sedangkan 60% (29,30% dari responden) lagi jarang kecewa. Lain halnya dengan 52% yang kecewa, ternyata hanya sebanyak 32% sering kecewa dan 68% bahkan selalu kecewa jika keamanan parkir McD kurang terjamin.
n)                  Promosi
Promosi adalah sarana komunikasi antara perusahaan dengan konsumennya. Konsumen McD di Bali sebagian besar (66%) menyatakan tidak kecewa sedangkan 34% menyatakan kecewa dengan promosi McD yang tidak sesuai dengan kenyataan.
Dari jumlah 66% tersebut, sebanyak 25% tidak pernah kecewa sedangkan 75% lagi jarang kecewa. Lain halnya dengan 34% yang kecewa, ternyata sebagian kecil yaitu sebanyak 29% sering kecewa dan 71% bahkan selalu kecewa.
4.2              Analisis Data
4.2.1        Pengaruh Variabel-variabel faktor psikografi terhadap keputusan pembelian konsumen di McDonald’s di Bali.
Psikografi yang dimaksudkan dalam penelitian ini terdiri dari variabel-variabel : gaya hidup, karakteristik kepribadian dan demografi konsumen. Unsur-unsur psikografi tersebut berperilaku sebagai variabel bebas atau yang berpengaruh. Sedangkan keputusan pembelian adalah variabel terikat (tergantung) yang diwakili oleh variabel jumlah uang yang dihabiskan setiap kali berbelanja di McDonald’s (Y), dengan kategori : tidak pernah, jarang sekali, sering atau selalu melebihi Rp. 20.000.
Hasil uji korelasi berganda dengan metode enter ditemukan bahwa korelasi antara variabel bebas (gaya hidup, karakteristik kepribadian dan demografi) dan variabel terikat (keputusan pembelian) adalah lemah yaitu berkisar antara 2,46% sampai dengan 33,73%. Dari ketiga variabel bebas tersebut, variabel demografi berkorelasi negatif dan tidak signifikan terhadap keputusan pembelian, sedangkan dua sisanya signifikan.
Kemudian hasil uji regresi antara variabel bebas (gaya hidup, karakteristik keperibadian dan demografi) secara bersama-sama, pada level of significant 95%, ditemukan bahwa gaya hidup, karakteristik kepribadian dan demografi secara bersama-sama mampu memprediksikan keputusan pembelian konsumen sebesar nilai koefisien regresi (R) = 33,92%, dengan standar error of estimate sebesar 61,71% dan r2 sebesar 11,51%. Koefisien regresi yang dihasilkan adalah sangat signifikan pada probability of significancy sebesar 0,00 (kurang dari 0,05) dengan nilai F-test sebesar 8,7121. Berarti sebagian besar (62,08%) keputusan pembelian konsumen yang melebihi Rp. 20.000 untuk setiap kali pembelian diprediksikan oleh faktor lain.
Hasil uji Anova menunjukkan bahwa perbedaan rata-rata pembelian untuk setiap kelompok dalam faktor psikografis konsumen McDonald’s di Bali, pada tingkat kesalahan 5%  menunjukkan pengaruh yang nyata (signifikan). Karena, hasil uji simultan dengan F-test menujukkan probabilitas signifikansi sebesar 0,00 yaitu kurang dari 0,05 dengan nilai F-hitung sebesar 8,7121.
Berkat bantuan program SPSS, maka analisis pengaruh masing-masing variabel dalam faktor psikografis (secara parsial) dalam menentukan keputusan pembelian konsumen, maka terbentuk model regresi linier berganda seperti berikut ini :
Yi = β0 + β1 X1+ β2 X2 + β3 X3
Dimana :
Yi = variabel keputusan pembelian (variabel terikat)
X1 = variabel gaya hidup
X2 = variabel karakteristik keperibadian
X3 = variabel demografi
βi = koefisien regresi (i = 1, 2, 3,…………, 29)
β0 = konstanta
Jadi model tersebut menjadi :
Yi = 1,3231 + 0,0493 X1- 0,0041 X2 + 0,0008 X3
Persamaan tersebut menunjukkan bahwa dari tiga variabel psikografi, ada satu  variabel yaitu karakteristik kepribadian yang berpengaruh negatif (berlawanan arah) terhadap keputusan pembelian melebihi Rp. 20.000. Sedangkan, dua variabel lainnya yaitu gaya hidup dan demografi berpengaruh positif (searah) terhadap keputusan pembelian yang melebihi Rp. 20.000.
Besarnya pengaruh masing-masing variabel ditunjukkan oleh koefisien regresi (β) yang dihasilkan. Hasil uji parsial dengan t-test (satu sisi) pada level of significant 5% ditemukan bahwa variabel gaya hidup berpengaruh signifikan terhadap keputusan pembelian konsumen McDonald’s di Bali. Hasil uji parsial pengaruh gaya hidup terhadap keputusan pembelian ditunjukkan oleh hasil t-hitung sebesar 3,6624 dengan probabilitas signifikansi sebesar 0,0003 atau kurang dari 0,05. Sedangkan variabel karakteristik kepribadian dan demografi berpengaruh tidak signifikan terhadap keputusan pembelian yang melebihi Rp. 20.000. Hasil uji parsial masing-masing variabel tersebut ditunjukkan oleh probabilitas signifikansi sebesar 0,5893 dan 0,9592 atau melebihi 0,05 dengan nilai t-hitung masing-masing sebesar –0,5407 dan 0,0512.
Variabel gaya hidup, menentukan perubahan keputusan pembelian yang melebihi Rp. 20.000 per pembelian sebesar 4,93%, dengan standar error of estimate 1,35%. Artinya, jika beda rata-rata (varian) kelompok konsumen dari segi gaya hidup meningkat sebesar 1%, maka intensitas keputusan pembelian (tidak pernah, jarang sekali, sering atau selalu) melebihi Rp. 20.000 akan meningkat sebesar 4,93%. Dapat diartikan bahwa semakin tinggi varian gaya hidup konsumen, maka semakin sering konsumen menghabiskan uangnya di McDonald’s melebihi Rp. 20.000, atau sebaliknya.
Variabel karakteristik kepribadian, menentukan perubahan keputusan pembelian yang melebihi Rp. 20.000 per pembelian sebesar –0,41%, dengan standar error of estimate 0,76%. Jadi, jika beda rata-rata (varian) kelompok konsumen McDonald’s dari segi karakteristik kepribadian meningkat sebesar 1%, maka intensitas keputusan pembelian (tidak pernah, jarang sekali, sering atau selalu) melebihi Rp. 20.000 akan menurun sebesar 0,41%. Dapat diartikan bahwa semakin besar beda rata-rata karakteristik kepribadian konsumen, maka semakin jarang atau tidak pernah konsumen menghabiskan uang di McDonald’s melebihi Rp. 20.000, atau sebaliknya.
Variabel Demografi, menentukan perubahan keputusan pembelian yang melebihi Rp. 20.000 per pembelian sebesar 0,08%, dengan standar error of estimate 1,65%. Jadi jika beda rata-rata kelompok demografi konsumen meningkat sebesar 1%, maka intensitas keputusan pembelian (tidak pernah, jarang sekali, sering atau selalu) melebihi Rp. 20.000 akan meningkat sebesar 0,08%. Dapat diartikan bahwa semakin tinggi beda rata-rata kelompok demografi konsumen, maka makin sering konsumen menghabiskan uang di McD melebihi Rp. 20.000, atau sebaliknya.
4.2.2        Pengaruh faktor psikografi terhadap keputusan pembelian konsumen McDonald’s di Bali
Psikografi konsumen McDonald’s sebagai variabel bebas, diukur dari nilai total variabel-variabel dalam faktor psikografi konsumen. Keputusan pembelian sebagai variabel terikat diwakili oleh variabel jumlah uang yang dihabiskan untuk setiap kali berbelanja di McDonald’s (Y), dengan kategori : tidak pernah, jarang sekali, sering dan selalu lebih dari Rp. 20.000.
Dari 205 responden ditemukan bahwa, rata-rata skor keputusan pembelian konsumen sebesar 2,99 dengan standar deviasi 0,65 sedangkan rata-rata skor psikografi konsumen sebesar 86,97 dengan standar deviasi 13,29. Korelasi dengan menggunakan metode Pearson Correlation antara variabel keputusan pembelian dengan variabel psikografi adalah rendah dan signifikan dengan nilai koefisien sebesar 0,28 pada tingkat signifikansi 0,00 atau kurang dari 0,05.
Hasil perhitungan regresi linier dengan metode enter ditemukan bahwa variabel psikografi (Xi) berpengaruh cukup lemah dalam memprediksi keputusan pembelian konsumen. Koefisien regresi (R) yang dihasilkan sebesar 28,08% dengan standar error of estimate sebesar 62,65% dan varian (r2) sebesar 7,89%. Berarti sebagian besar (71,92%) keputusan pembelian yang lebih dari Rp. 20.000 untuk setiap kali pembelian tidak dapat diprediksikan oleh variabel-variabel faktor psikografi.
Hasil uji Anova menunjukkan bahwa perbedaan rata-rata pembelian untuk setiap kelompok dalam faktor psikografi konsumen McDonald’s di Bali, pada tingkat kesalahan 5% menunjukkan pengaruh yang nyata (signifikan). Karena, hasil uji dengan F-test menujukkan probabilitas signifikansi sebesar 0,00 yaitu kurang dari 0,05 dengan nilai F-hitung sebesar 17,3783.
Hasil penghitungan dengan bantuan program SPSS, dari analisis pengaruh variabel psikografi  dalam menentukan keputusan pembelian konsumen, terbentuk model regresi linier seperti berikut ini :
Y = β0 + β1 X
Dimana :
Y         = variabel keputusan pembelian
X         = variabel psikografi
Β1 = koefisien regresi
β0 = konstanta
Jadi model tersebut menjadi :
Y = 1,7936 + 0,0138 X
Persamaan tersebut menunjukkan bahwa variabel psikografi berpengaruh positif (searah) terhadap keputusan pembelian melebihi Rp. 20.000. Besarnya pengaruh variabel psikografi ditunjukkan oleh koefisien regresi (β1) yang dihasilkan. Hasil uji regresi dengan t-test pada level of significant 5% ditemukan bahwa variabel psikografi berpengaruh signifikan sebesar 1,38% terhadap perubahan keputusan pembelian konsumen McDonald’s di Bali, dengan standar error of estimate 0,33% dan nilai t-hitung = 4,1687. Berarti, apabila terjadi perubahan rata-rata variabel psikografi sebesar 1%, maka keputusan pembelian melebihi Rp. 20.000,- akan meningkat sebesar 1,38%. Dapat pula diartikan bahwa semakin tinggi beda rata-rata variabel psikografi konsumen maka semakin sering konsumen menghabiskan uang di McDonald’s melebihi Rp. 20.000, atau sebaliknya.
4.3              Pengujian Penyimpangan Terhadap Asumsi Regresi
4.3.1        Multikolinearitas
Penyimpangan terhadap asumsi model klasik multikolinearitas ditunjukkan oleh adanya korelasi yang tinggi antar variabel bebas. Multikolinearitas mungkin terjadi jika R-square yang diperoleh dari Regresi Auxiliary (R-square antar variabel independen) lebih besar dibandingkan dengan R-square overall. Multikolinearitas juga dapat diuji dengan melihat nilai VIF (variance inflating factor), dan jika nilai VIF variabel bebas yang dihasilkan melebihi 1,0 berarti tidak terjadi multikolinearitas.
Hasil uji multikolinearitas dengan menggunakan program SPSS ditemukan nilai VIF  (variance inflating factor) statistic berkisar antara 1,0081 sampai dengan 2,4530. Jadi semua nilai VIF variabel bebas tersebut lebih dari 1,0 dan berarti bahwa antara variabel bebas tidak terjadi multikolinearitas.
4.3.2        Heterokedastisitas
Salah satu asumsi klasik dalam model regresi linier adalah apabila variabel pengganggu (e) mempunyai varians yang sama dari satu pengamatan ke pengamatan lainnya disebut dengan gejala homokedastisitas. Sedangkan apabila variannya berbeda dari satu pengamatan ke pengamatan lainnya disebut dengan gejala heterokedastisitas.
Seperti dalam multikolinearitas, menurut Gudjarati (1995:184) tidak ada aturan yang kuat dan jelas untuk mendeteksi heterokedastisitas. Penelitian ini akan menggunakan metode grafik. Dasar pengambilan keputusannya yaitu jika ada pola tertentu seperti titik-titik (point-point) yang membentuk pola tertentu yang teratur (bergelombang, melebar kemudian menyempit), maka telah terjadi heterokedasititas, sedangkan jika tidak ada pola yang jelas serta titik-titik menyebar diatas dan dibawah angka 0 (nol) pada sumbu Y, maka tidak terjadi heterokedastisitas (Santoso, 2000:208).
4.4 Implikasi manajerial hasil analisis psikografi konsumen McDonald’s di Bali.
Berdasarkan hasil penelitian, ada beberapa implikasi manajerial yang dapat digunakan oleh Manajemen McDonald’s di Bali untuk dapat meningkatkan jumlah atau nilai pembelian konsumen. Jumlah atau nilai pembelian konsumen McDonald’s setiap kali berbelanja, berkaitan erat dengan sikap dan perilakunya. Komponen-komponen sikap dan perilaku konsumen menurut Hawkins, et. Al (1992:350), terdiri dari : afektif, kognitif dan behavior.
Komponen afektif merupakan perasaan atau reaksi emosi seseorang tentang suatu atribut produk, yaitu ciri-ciri atau sifat-sifat produk atau mereknya. Apakah merek yang ada baik atau buruk, diinginkan dan disukainya. Komponen kognitif, mencakup suatu keyakinan dan pengetahuan tentang suatu atribut produk, yaitu : harga dan kesesuaiannya. Komponen ketiga merupakan komponen behavior atau komponen yang berkaitan dengan soal psikomotor atau perilaku. Komponen ini merefleksikan perilaku-perilaku yang direncanakan dan aktual terhadap atribut produk yang bersangkutan.
Seperti dijelaskan pada bab terdahulu, stimulus respon kosumen kaitannya dengan McDonald’s adalah berupa atribut restorannya. Atribut tersebut berupa : servis, cita rasa, kebersihan, keragaman, jarak restoran dan promosi. Konsumen memiliki keyakinan dan pengetahuan tentang atribut produk, misalnya : servisnya berkualitas, hidangan menu beragam, harganya terjangkau, sarana parkirnya memadai dan lain-lain.  Aspek kognitif mempengaruhi perasaan emosional positif atau negatif terhadap produk McDonald’s dan predisposisi calon konsumen yang bersangkutan terhadap aspek perilaku dalam pembelian.
Komponen sikap yang terpenting dalam situasi pembelian, menurut Winardi (1991:138) adalah sesuai dengan bobot komponen-komponen sikap terhadap produk berkaitan dengan situasi yang dihadapi dan tipe pembelinya. Sehingga manajemen McDonald’s di Bali memerlukan suatu pemahaman tentang sejauh mana stimuli atribut produk yang telah ditawarkan mampu merespon nilai pembeliannya. Pemahaman mana, akan direfleksikan dalam persepsi konsumen terhadap kinerja stimuli yang diterimanya. Pemahaman terhadap komponen-komponen sikap ini setidaknya dapat dijadikan dasar perumusan kebijakan manajemen McDonald’s ke depan. Berikut ini diuraikan beberapa implikasi manajerial sehubungan dengan hasil analsis psikografi konsumen McDonald’s di Bali, yang dirinci menurut unsur-unsur gaya hidup, karakteristik keperibadian dan demografi konsumen.
4.4.1 Implikasi manajerial dikaitkan dengan gaya hidup konsumen McDonald’s
Hasil regresi psikografi secara parsial antara gaya hidup dengan keputusan pembelian secara signifikan terbukti mampu memprediksi peningkatan keputusan pembelian untuk berbelanja lebih dari Rp. 20.000 per transaksi sekitar 4,93%. Artinya bahwa gaya hidup layak dijadikan dasar perumusan kebijakan untuk meningkatkan nilai  pembelian konsumen. Hal ini didukung oleh akurasi beberapa hasil temuan dari ketiga unsur gaya hodup konsumen.
Gaya hidup konsumen sesuai dengan konsep perilaku terdiri dari tiga unsur, yaitu aktivitas, minat dan opini. Berdasarkan atas hasil analisis karakteristik psikografi responden, tersecermin bahwa konsumen yang makan di McDonald’s sebagian kecil konsumen grup (kelompok) dan produk yang dibeli sebagian besar adalah berupa nasi dan kelengkapannya. Dilihat dari intensitas kunjungan, ditemukan bahwa kunjungan konsumen masih sebagian besar kurang dari 2 kali dalam sebulan dan kebanyakan dari mereka menghabiskan waktu kurang dari 2 jam di McDonald’s. Kemudian, dari sisi uang yang dibelanjakan kebanyakanan menyatakan lebih dari Rp. 20.000 per transaksi.
Persepsi konsumen, dilihat dari minatnya ke McDonald’s adalah sebagian besar karena minatnya sendiri dan merupakan tujuan utama sebagai tempat makan. Jadi hasil temuan ini mengindikasikan bahwa atribut produk McDonald’s sudah diakui kualitasnya oleh konsumen.
Situasi lingkungan makro suatu bisnis seperti : isu dunia, isu lokal, masalah hukum dan keamanan, isu moral serta isu ekonomi dan sosial kadangkala ikut menentukan perubahan keputusan pembelian konsumen. Tetapi, bagi sebagian besar konsumen di Bali, semua masalah tersebut tidak pernah atau jarang menjadi halangannya untuk memutuskan makan di McDonald’s.
Manajemen McDonald’s untuk masa ke depan semestinya lebih menyasar konsumen grup (kelompok), karena nilai pembelian grup lebih banyak dibandingkan dengan konsumen individu. Konsumen grup yang dimaksudkan seperti misalnya : konsumen keluarga, acara pesta atau meeting. Diupayakan agar konsumen jenis grup ini dapat diadakan minimal satu kali dalam sebulan. Konsumen grup akan dapat mendatangkan volume kunjungan yang lebih banyak dengan nilai pembelian yang jauh lebih besar. Artinya bahwa diupayakan meningkatkan aktivitas konsumen di McDonald’s agar tidak hanya sekedar makan saja. Hal ini sangat memungkinkan karena Denpasar dan Badung adalah pusat berbagai aktivitas publik dan didukung dengan opini yang positif konsumen terhadap masalah makro.
Konsekuensinya adalah diperlukan berbagai persiapan yang berkaitan dengan sarana dan prasarana pendukung seperti  paket acara dan tempat (hall) yang memadai. Tempat (hall) bagi McDonald’s tidak mesti disiapkan sendiri. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan kemitraan (out searching) sejenis dengan dukungan terhadap kegiatan bazar yang telah dijalankan selama ini.
4.4.2 Implikasi manajerial dikaitkan dengan karakteristik kepribadian konsumen McDonald’s
Sikap dan perilaku seseorang umumnya signifikan menentukan keputusan pembeliannya. Hasil temuan lapangan menggambarkan bahwa, tipe atau karakter keperibadian konsumen McDonald’s sebagian besar menunjukkan sikap dan perilaku yang konsisten dan loyal. Hasil temuan regresi psikografi secara parsial antara karakteristik kepribadian dengan keputusan pembelian menunjukkan pengaruh yang berlawanan arah dan pengaruh tersebut tidak signifikan atau tidak nyata.
Apabila ditelusuri lebih jauh, ternyata kebanyakan konsumen tidak mudah berubah pikiran secara mendadak kalau telah memutuskan untuk makan di McDonald’s, hal ini mungkin disebabkan karena kebanyakan mereka memilih McDonald’s atas kemauannya sendiri seperti dijelaskan sebelumnya. Perilaku yang konsisten mencerminkan konsumen adalah orang-orang yang menghargai waktu untuk kegiatan utama ketimbang kegiatan sosial. Mereka juga yakin kalau McDonald’s memberikan pelayanan yang cepat dan akan kecewa kalau dilayani dengan tidak ramah. Hal ini dapat dimengerti karena konsumen yang rata-rata sibuk, memerlukan pelayanan yang ramah dan serba cepat. Atribut McDonald’s yang lain seperti : harga mahal, kebersihan makanan, kelengkapan sajian menu, jarak restoran, lokasi, sarana parkir dan promosi McDonald’s sudah bukan merupakan halangan dalam pertimbangan konsumen.
Sikap dan perilaku positif konsumen terhadap McDonald’s tersebut merupakan angin segar bagi manajemen. Manajemen McDonald’s untuk ke depan semestinya tidak terlena dengan brand loyalty konsumen. McDonald’s dengan segenap crew-nya dapat mengembangkan strategi yang mengarah kepada pengembangan sumber daya untuk mengimbangi sikap dan perilaku positif konsumen tersebut. Misalnya, sekalipun konsumen tidak mempermasalahkan harga mahal, manajemen McDonald’s harus tetap rasional kalau ingin meningkatkan harga, sebab pengaruh karakteristik terhadap keputusan konsumen adalah negatif.
4.4.3 Implikasi manajerial dikaitkan dengan demografi konsumen McDonald’s
Secara parsial, pengaruh faktor psikografi dari unsur demografi konsumen terhadap keputusan pembelian melebihi Rp. 20.000 per transaksi sangat kecil dan pengaruh tersebut tidak signifikan atau tidak nyata. Secara demografis, konsumen McDonald’s adalah umumnya berusia 17 s/d 32 tahun dengan jenis kelamin perempuan. Pekerjaan konsumen McDonald’s kebanyakan karyawan swasta/PNS dengan penghasilan Rp. 500.000 sampai Rp. 1.000.000 per bulan. Asal konsumen McDonald’s umumnya adalah masyarakat Denpasar dan Badung yang beragama Hindu Bali, dengan pendidikan minimal SMA.
Segmentasi demografis konsumen tersebut (post hock) menunjukkan bahwa masih sangat banyak segmen lain yang potensial yang dapat disasar terutama kelompok wiraswasta dan laki-laki yang berusia di atas 30 tahun. Konsumen bisnis ini umumnya memiliki penghasilan di atas Rp. 1.000.000 per bulan dan biasanya acara makan siang dibarengi dengan aktivitas lain seperti meeting dan negosiasi bisnis.
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa McDonald’s dapat melakukan market development strategi menyasar segmen pasar grup atau bisnis. Hal ini didukung oleh komponen sikap dan perilaku konsumen yang berhubungan dengan afektif dan kognitif terhadap atribut McDonald’s sebagai stimuli sudah cukup baik. Sehingga untuk ke depan, manajemen McDonald’s masih perlu memikirkan unsur behavior konsumen sebagai psicomotor yang dapat menggerakkan sikapnya ke dalam perilaku nyata.
BAB V
KESIMPULAN & SARAN
5.1.              Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan dan analisis terhadap hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa :
1.                  Variabel psikografi berpengaruh positif (searah) terhadap keputusan pembelian yang melebihi Rp. 20.000 per transaksi. Hasil uji regresi dengan t-test pada level of significant 5% ditemukan bahwa variabel psikografi berpengaruh signifikan pada t = 4,1687 terhadap perubahan keputusan pembelian konsumen McDonald’s di Bali sebesar 0,0138 dengan standar error of estimate 0,0033. Dapat pula diartikan bahwa semakin tinggi beda rata-rata variabel psikografi konsumen, maka semakin sering konsumen menghabiskan uang di McDonald’s melebihi Rp. 20.000 atau sebaliknya.
2.                  Dari tiga variabel psikografi yaitu : gaya hidup, karakteristik kepribadian dan demografi, faktor yang paling dominan mempengaruhi keputusan pembelian konsumen McDonald’s yang melebihi Rp. 20.000 per pembelian adalah variabel gaya hidup dengan koefisien sebesar 4,93% dan standar error of estimate sebesar 1,35%. Kemudian disusul oleh variabel demografi, menentukan perubahan keputusan pembelian yang melebihi Rp. 20.000 per pembelian sebesar 0,08%. Sedangkan Variabel karakteristik kepribadian, menentukan perubahan keputusan pembelian yang melebihi Rp. 20.000 per pembelian sebesar –0,41%. Artinya, jika beda rata-rata kelompok konsumen dari segi karakteristik kepribadian meningkat sebesar 1% maka intensitas keputusan pembelian melebihi Rp. 20.000,- akan menurun sebesar  0,41%.
3.                  Hasil regresi psikografi secara parsial antara gaya hidup dengan keputusan pembelian secara signifikan terbukti mampu memprediksi peningkatan keputusan pembelian untuk berbelanja lebih dari Rp. 20.000 per transaksi sebesar 4,93%. Artinya bahwa gaya hidup layak dijadikan dasar perumusan kebijakan untuk meningkatkan nilai pembelian konsumen McDonald’s di Bali. Hasil temuan lapangan menggambarkan bahwa tipe atau karakter kepribadian konsumen McDonald’s sebagian besar menunjukkan sikap dan perilaku yang konsisten dan loyal. Stimulus yang diciptakan McDonald’s telah mampu merespon afektif dan kognitif konsumen. Sehingga untuk masa mendatang McDonald’s semestinya melakukan markert development strategi menyasar segmen pasar grup atau bisnis. Paket program pemasaran diarahkan pada even-even yang dapat meningkatkan aktivitas konsumen akan menciptakan suatu sinergi yang dapat mempengaruhi unsur behavior konsumen sebagai psicomotor yang dapat menggerakkan sikapnya ke dalam perilaku nyata yaitu peningkatan nilai pembelian.
5.2.            Saran-Saran
Berdasarkan hasil penelitian, ada beberapa saran yang kami sampaikan kepada Manajemen McDonald’s untuk dapat meningkatkan jumlah atau nilai pembelian konsumen yang berkaitan erat dengan sikap dan perilakunya.
1.                  Manajemen McDonald’s untuk masa ke depan semestinya lebih menyasar  konsumen grup (kelompok), karena nilai pembelian grup lebih banyak dibandingkan dengan konsumen individu. Konsumen grup akan dapat mendatangkan volume kunjungan yang lebih banyak dengan nilai pembelian yang jauh lebih besar. Diupayakan meningkatkan aktivitas konsumen di McDonald’s agar tidak hanya sekedar makan saja. Hal ini sangat memungkinkan karena Denpasar dan Badung adalah pusat berbagai aktivitas publik dan didukung dengan opini yang positif konsumen terhadap masalah makro.
2.                  Sikap dan perilaku positif konsumen terhadap McDonald’s merupakan keunggulan bersaing bagi manajemen McDonald’s yang semestinya tidak terlena dengan brand loyalty tersebut. McDonald’s dapat mengembangkan strategi yang mengarah kepada pengembangan sumber daya manusia untuk mengimbangi sikap dan perilaku positif konsumen tersebut. Misalnya, sekalipun konsumen tidak mempermasalahkan harga mahal, manajemen McDonald’s agar tetap rasional kalau ingin meningkatkan harga, sebab pengaruh karakteristik kepribadian terhadap keputusan konsumen adalah negatif.
3.                  Segmentasi demografis konsumen menunjukkan bahwa masih sangat banyak segmen lain yang potensial yang dapat disasar terutama kelompok wiraswasta dan laki-laki yang berusia diatas 30 tahun. Konsumen bisnis ini umumnya memiliki penghasilan diatas Rp. 1.000.000 per bulan dan biasanya acara makan siang dibarengi dengan aktivitas lain seperti meeting dan negosiasi bisnis.
4.                  Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa McDonald’s sebaiknya  melakukan market development strategy menyasar segmen pasar grup atau bisnis. Hal ini didukung oleh komponen sikap dan perilaku konsumen yang berhubungan dengan afektif dan kognitif terhadap atribut McDonald’s sebagai stimuli sudah cukup baik. Sehingga untuk ke depan, manajemen McDonald’s masih perlu memikirkan unsur behavior konsumen sebagai psicomotor yang dapat menggerakkan sikapnya ke dalam perilaku nyata yaitu melakukan pembelian yang melebihi Rp. 20.000 per kunjungan dan lebih sering melakukan kunjungan. Misalnya, menciptakan suatu paket program atau even-even yang dapat merespon segmen pasar grup dan atau bisnis selain dengan bazar keliling. Segmen ini memiliki daya beli yang lebih besar dari segmen pasar individu atau pribadi.
DAFTAR PUSTAKA
Boyd, Harper W. Jr, Orville C. Walker. Jr dan Carl McDaniel. 2001. Manajemen Pemasaran. Jilid Pertama. Edisi Kedua. Alih Bahasa: Imam Nurnawan, S.E. Jakarta: Erlangga
Husein, Umar. 2002. Metode Riset Bisnis. Jakarta: PT gramedia Pustaka Utama
J. Paul, Peter & C. Olson, Jery. 2003. Consumen Behavior: Perilaku Konsimen dan Strategi Pemasaran. Edisi Keempat. Ahli Bahasa: Damos Sihombing. Jakarta: Erlangga
Kotler, Philip. 2000. Manajemen Pemasaran. Jilid Pertama. Edisi Milenium. Alih Bahasa: Hendra Teguh, S.E., AK dan Ronny A. Rusli, S.E., AK. Jakarta: PT Prenhallindo
Kotler, Philip dan Gary Amstrong. 2001. Principles of Marketing. Edisi Kesembilan. New Jersey: PT Prenhallindo
____________________________, 2005. Manajemen Pemasaran. Jilid Pertama. Edisi Kesebelas. Alih Bahasa: Drs. Benyamin Molan. Jakarta: PT Indeks Kelompok Gramedia
Lamb, Charles W. Jr, Joseph F. Hair, Jr dan Carl McDaniel. 2001. Manajemen Pemasaran. Jilid Pertama. Edisi Pertama. Penerjemah: David Octarevia. Edisi Pertama. Jakarta: Salemba Empat
Robbins, Stephen P. 2003. Perilaku Organisasi. Jilid Pertama. Edisi Kesembilan. Alih Bahasa: Drs. Benyamin Molan. Jakarta: PT Indeks Kelompok Gramedia
Santoso, Singgih. 2002. Buku Latihan SPSS Statistik Parametik. Jakarta: Elek Media Komputindo
Simamora, Bilson. 2004. Panahan Riset dan Perilaku Konsumen. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Sugiyono. 2003. Metode Penelitian Bisnis. Bandung: CV Alvabeta
Sutisna. 2002. Perilaku Konsimen dan Komunukasi Pemasaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Tjiptono, Fandy, Yanto Chandra dan Anastasia Diana. 2004. Marketing Scale. Yogyakarta: ANDI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar